Penyebab Terjadinya Perang Aceh
Sejak abad ke-17, Belanda sudah berusaha menanamkan kekuasaannya di Aceh. Hal itu karena Aceh merupakan pusat perdagangan yang ramai, maka Aceh adalah tempat yang strategis, seperti dikutip dari Explore Sejarah Indonesia Jilid 2 untuk SMA/ MA Kelas XI oleh Dr. Abdurakhman, S.S. 2017.
Selain itu, Aceh juga memiliki banyak kekayaan alam, seperti lada, hasil tambang, serta hasil hutan yang melimpah sehingga Belanda sangat ingin menguasainya untuk mewujudkan Pax Neerlandica.
Namun hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan Belanda. Sebab rakyat Aceh menunjukkan segala upaya untuk mempertahankan kedaulatannya. Pada masa itu, Belanda juga memiliki kendala yaitu Traktat London yang disetujui pada 17 Maret 1824.
Traktat London adalah kesepakatan antara Inggris dan Belanda mengenai pembagian wilayah jajahan Nusantara dan Semenanjung Malaya. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda tidak bisa mengganggu Aceh, karena wilayah tersebut telah masuk ke bagian jajahan Inggris.
Namun meskipun begitu, Traktat London rupanya tidak menghentikan Belanda, mereka mulai menguasai daerah Sibolga, pedalaman Tapanuli, Tanah Batak, Singkit, Barus, Serdang, dan Asahan.
Di tahun 1858, Belanda juga mengadakan perjanjian dengan Sultan Siak dan sampai pernah mengakui kedaulatan Belanda di Sumatra Timur.
Tidak berhenti sampai di situ, Belanda akhirnya mengumumkan peperangan terhadap rakyat Aceh. Dinilai mudah dikalahkan, ternyata Aceh memiliki semangat tinggi untuk mendapatkan Kembali tanah Aceh.
Dengan adanya barisan pemuda dan para pemimpin Aceh, perang ini menjadi salah satu perang terberat bagi Belanda dan dalam sejarah perang Aceh.
Perang dimulai pada 5 April 1857, di mana pasukan Belanda di bawah kepemimpinan Mayor Jenderal J.H.R Kohler mulai menyerang Aceh. Dengan kekuatan yang ada, para pejuang Aceh pun tidak tinggal diam dan mampu memberikan perlawanan sengit.
Belanda sempat melakukan penyerangan ke Masjid raya Baiturrahman, dan sempat menginstruksikan anak buahnya untuk menembakkan peluru ke arah Masjid. Akibatnya, masjid mulai terbakar dan pasukan Aceh mulai berbondong-bondong meninggalkan masjid.
Belanda akhirnya berhasil menguasai masjid pada 14 April 1873. Namun Mayor Jenderal Kohler diketahui tewas dalam sengitnya pertempuran di masjid ini.
Setelah berhasil menguasai masjid, 9 Desember 1873 pasukan Belanda pun Kembali mendarat di Pantai Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jenderal J.van Swieten, seorang pemimpin baru yang akan mengepalai pergerakan Belanda.
Melihat kedatangan Belanda, pasukan Aceh pun tidak tinggal diam hingga akhirnya meluncurkan berbagai serangan. Namun sayangnya pasukan Aceh harus mengalah dan mundur karena persenjataan Belanda jauh lebih lengkap.
Pada 24 Januari 1874, pasukan Belanda Kembali menduduki istana. Sultan Mahmud Syah II bersama para pejuang lain telah terlebih dahulu meninggalkan istana hingga pada akhirnya 4 hari setelahnya Sultan wafat akibat wabah kolera.
Setelah berhasil menguasai Masjid dan istana, Belanda akhirnya mengangkat putra mahkota Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Aceh. Namun karena beliau masih di bawah umur, Tuanku Hasyim Banta Muda pun diangkat sebagai walia atau pemangku sultan sampai tahun 1884.
Tidak berhenti sampai di sini, Belanda pun terus melanjutkan perang sampai ke daerah hulu. Posisi Letnan Jenderal Van Swieten pun sudah digantikan dengan Jenderal Pel. Setelah itu mereka pun mulai membangun pos-pos pertahanan di Kutaraja, Krueng Aceh, dan Meuraksa dengan kekuatan sekitar 2.759 pasukan.
Melihat pertambahan pasukan Belanda, pejuang Aceh pun tidak gentar dan tetap semangat. Di Aceh Barat peperangan dipimpin oleh Teuku Umar dan istrinya Cut Nyak Dien hingga meluas sampai ke Meulaboh. Dengan semangat jihad, mereka pun menerapkan strategi baru yang disebut Konsentrasi Stelsel.
Berbagai kegagalan dalam pertempuran melawan rakyat Aceh akhirnya membuat Belanda mulai geram dan menugaskan Dr. Snouck Hurgronje untuk menganalisis kelemahan dari pasukan Aceh. Akhirnya, ia pun mengusulkan beberapa cara untuk menaklukkan Aceh, yaitu:
Untuk melaksanakan usulan-usulan tersebut, pada 1898 Kolonel J.B van Heutsz diangkat sebagai Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Dengan berbagai macam persiapan akhirnya mereka pun melancarkan beberapa serangan untuk menggempur Aceh.
Di bagian Aceh Barat, Teuku Umar juga merencanakan penyerangan besar-besaran ke Meulaboh. Namun ternyata rencana ini berhasil diketahui Belanda dan malah terjadi serangan balik yang sengit pada 1899.
Dalam pertempuran tersebut akhirnya Teuku Umar pun gugur, sedangkan pasukan Cut Nyak Dien terus melakukan perlawanan.
Di bawah kepemimpinan Muhammad Daud Syah dan Panglima Polem perang gerilya terus dilakukan, sampai akhirnya Muhammad Daud menyerah. Sementara Panglima Polem ditangkap bersama istri dan keluarganya.
Perang mulai mereka setelah Cut Nyak Dien berhasil ditangkap lalu diasingkan oleh Belanda sampai akhirnya wafat pada 8 November 1908. Perang selanjutnya dilanjutkan oleh Cut Nyak Meutia dan Pang Nanggroe.
Sampai pada akhirnya Oktober 1910, keduanya gugur dan perang resmi berakhir secara massal pada tahun tersebut.
Demikian sejarah perang Aceh. Semoga semangat juang para pendahulu selalu dapat menginspirasi generasi muda untuk terus mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.
Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.
Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.
Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.
Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.
Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.
Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.
Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.
Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.
Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.
Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.
Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.
Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.
Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.
Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.
Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.
Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.
Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.
Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.
Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.
Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.
Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.
Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.
Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.
Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.
Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.
Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.
Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.
Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.
78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali
Nationalgeographic.co.id—Kegagalan pasukan salib dalam sejarah Perang Salib kedua telah menjadi pukulan telak bagi negara-negara Kristen Eropa. Dan sekali lagi, Perang Salib telah merusak hubungan timur-barat, Kekaisaran Bizantium dan negara-negara Kristen Eropa.
Tidak hanya itu, jenderal Shirkuh dari Dinasti Zenkiyah, di bawah kepemimpinan Nur ad-Din menaklukan Mesir pada tahun tahun 1168, aliansi Damaskus dan Aleppo semakin kuat. Keberhasilan peradaban Islam ini dianggap menjadi ancaman yang lebih besar terhadap negara-negara Kristen Eropa.
Setelah kematian Nur Ad-Din, salah satu panglima militernya bernama Salahuddin al-Ayyubi mengambil kesempatan untuk mengonsolidasikan kekuatannya sendiri. Salahuddin al-Ayyubi yang lebih dikenal dengan Saladin kemudian mendirikan Dinasti Ayyubiyah di Mesir.
Saladin (memerintah 1169-1193 M) dengan cepat menyatukan Peradaban Islam untuk melawan invasi Kristen Eropa. Dan, pada 4 Juli 1187 dalam Pertempuran Hittin, Saladin yang memimpin Pasukan Muslim berhasil merebut kembali Yerusalem dari Pasukan Salib.
Yerusalem akhirnya kembali ke dalam Peradaban Islam yang dikonsolidasi oleh Saladin. Inilah yang kemudian memicu diserukannya kembali Sejarah Perang Salib Ketiga (1189-1192).
Dalam sejarah Perang Salib Ketiga, pasukan salib dipimpin oleh tiga raja Eropa. oleh karena itu, sejarah Perang Salib ketiga juga dikenal dengan nama lainnya yaitu 'Perang Salib Raja'.
Ketiga pemimpin tersebut adalah: Frederick I Barbarossa, Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci (memerintah 1152-1190 M), Philip II dari Prancis (memerintah 1180-1223 M) dan Richard I 'si Hati Singa' dari Inggris (memerintah 1189 -1199 M).
Terlepas dari silsilah ini, kampanye itu gagal, Kota Suci bahkan tidak pernah diserang. Sepanjang jalan, ada beberapa kemenangan, terutama direbutnya Acre dan pertempuran Arsuf.
Tapi, sejarah Perang Salib tidak seperti yang dikampanyekan. Pasukan Salib runtuh dengan sendirinya.
Pada saat mereka mencapai tujuan mereka, para pemimpin Barat mendapati diri mereka tidak memiliki cukup orang atau sumber daya untuk melawan pasukan Saladin yang masih utuh.
Para raja akhirnya memilih jalan negosiasi dan meminta kompromi kepada Saladin. Negara-negara Kristen Eropa hanya meminta akses peziarah dan dizinkan masuk ke Yerusalem diizinkan. Kemudian umat Kristen dapat berziarah dengan perlindungan di Timur Tengah.
Peradaban Islam tidak keberatan dengan negosiasi dari negara-negara Kristen Eropa tersebut. Namun upaya lain untuk merebut Kota Suci Yerusalem masih terus dilakukan, dan akan menjadi tujuan awal Perang Salib Keempat pada tahun 1202-1204 M.
Peta Timur Tengah yang menunjukkan negara-negara Timur Latin yang dikuasai Pasukan Salib pada saat Perang Salib Ketiga (1189-1192 M).
Perang Salib Kedua (1147-1149 M) secara efektif telah berakhir dengan kegagalan total merebut Damaskus di Suriah pada tahun 1148 M.
Berbagai negara dari Peradaban Islam di Timur Tengah kemudian menyadari, bahwa para ksatria barat yang pernah ditakuti dapat dikalahkan dan keberadaan genting dari wilayah yang dikuasai Pasukan Salib, Timur Latin, kemudian menjadi perhatian Peradaban Islam.
Yang dibutuhkan sekarang hanyalah penyatuan pasukan Muslim dan ini disediakan oleh salah satu penguasa abad pertengahan terbesar, yaitu Saladin, Sultan Mesir dari Dinasty Ayyubiyah dan Suriah (memerintah 1174-1193 M).
Saladin, pendiri Dinasti Ayyubiyah di Mesir, menguasai Damaskus pada 1174 M dan Aleppo pada 1183 M. Saladin kemudian mengejutkan dunia dengan mengalahkan pasukan Kerajaan Yerusalem dan sekutu Latinnya di Pertempuran Hattin pada tahun 1187 M.
Dengan demikian, Saladin mampu menguasai kota-kota seperti Acre, Tiberias, Caesarea, Nazareth, Jaffa dan bahkan, tempat paling suci itu sendiri, Yerusalem.
Tidak seperti Sejarah Perang Salib Pertama yang penuh dengan pembantaian saat orang Kristen Eropa menaklukkan Yerusalem, puluhan ribu orang Yahudi dan Muslim dibantai. Saladin malah sangat toleran, lunak dan menerima kompromi.
Setelah Saladin merebut kembali Yerusalem hampir seabad sebelumnya, Saladin hanya menerima uang tebusan dari orang-orang Kristen Latin yang mampu membeli kebebasan mereka dan memperkerjakan sisanya.
Sementara itu, orang Kristen Timur atau Kristen Ortodoks diizinkan untuk tetap tinggal di Yerusalem sebagai kelompok minoritas yang dilindungi.
Dengan demikian Timur Latin semuanya telah runtuh, hanya Tirus yang tersisa di tangan Kristen Eropa, di bawah komando Conrad dari Montferrat, tetapi itu akan terbukti menjadi pijakan yang berguna untuk perlawanan yang akan datang.
Paus Gregorius VIII hanya memerintah selama beberapa bulan pada tahun 1187 M tetapi, pada bulan Oktober tahun itu, dia membuat dampak yang bertahan lama dalam sejarah Perang Salib.
Ia mengharapkan perang salib lagi untuk memenangkan kembali Yerusalem dan peninggalan suci yang hilang seperti Salib Sejati, tapi semuanya tidak berlanjut.
Padahal, tidak kurang dari janji pengulangan prestasi luar biasa dari Perang Salib Pertama. Tidak kurang juga bangsawan yang terlibat.
Tiga raja paling berkuasa di Eropa ketika itu menerima seruan Paus untuk memulai Perang Salib Ketiga atau Perang Salib Raja, yaitu Kaisar Romawi Suci, Frederick I Barbarossa, raja Jerman, Philip II dari Prancis dan Richard I dari Inggris.
Tapi, secara keseluruhan, Sejarah Perang Salib ketiga tidak lebih baik dari Perang Salib Kedua dan bahkan gagal sebelum terjadi perang terbuka.
Gel Duri Landak Berpotensi Sembuhkan Luka: Termasuk Luka akibat Tertusuk Duri?
Kemunculan ideologi Baharu
-Pimpinan Benito Mussolini dan Parti Fasis yang menguasai Itali pada 1922
-Fasisme: memberikan keutamaan kepada kepentingan negara melebihi kepentingan individu dan percayakan nasionalisme melampau termasuk berperang bagi meningkatkan imeg negara.
-Bagi memulihkan imej Itali meluaskan jajahan dengan kuasa Habsyah (Etiopia) dan Albania
-Pimpinan Adolf Hitler dan Parti Nazi yang menguasai Jerman 1933
-Nazisme: mengagungkan bangsa Jerman
-Hitler berusaha memulihkan nasionalisme Jerman dengan mengetepikan Perjanjian Versailles, membina angkatan tentera semula dan meduduki Rhineland semula(wilayah yang hilang semasa Perjanjian Versailles)
Ketidakpuasan Hati terhadap Perjanjian Versailles (Jerman dan Itali)
-menjejaskan kedaulatan negaranya
-kehilangan tanah jajahan
-perlu membayar pampasan perang tinggi menyebabkan kemelesetan ekonomi dan inflasi
Kegagalan Liga Bangsa-Bangsa
Liga Bangsa-Bangsa sebagai badan keamanan dunia dan wujudkan kerjasama antarabangsa gagal untuk menguatkuasakan perjanjian pelucutan senjata dan menangani krisis pencerobohan yang berlaku selepas Perang Dunia I.
Ini menyebabkan dunia terdedah kepada konflik berterusan dan meletusnya Perang Dunia II.
Cabaran Liga Bangsa-Bangsa selepas Perang Dunia I
Krisis Manchuria (1931-1933)
-Jepun menakluki Manchuria, iaitu wilayah di bawah penguasaan China
Perjanjian Pelucutan Senjata (1932-1934)
-Jerman keluar daripada Liga Bangsa-Bangsa dan memperbesar angkatan tenteranya secara terbuka
Krisis Habsyah (1935-1936)
-Itali menyerang Habsyah di Afrika
if (CMS_Setting('theme_config')['welcome_running']){ return `` + CMS_Setting('theme_config')['welcome_text'] + ``; }else{ return CMS_Setting('theme_config')['welcome_text']; }
Perang Aceh adalah salah satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah Indonesia. Perang Aceh sendiri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat Aceh terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1873-1912.
Sampai saat ini, sejarah perang Aceh masih menarik untuk diceritakan karena dalam catatan sejarah, perang ini menjadi salah satu perang terlama yang pernah terjadi di Aceh. Untuk lebih memahami sejarah perang yang terjadi di Aceh, simak penjelasannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT